“ETIKA PROFESI GURU ”

Posted: 25 April 2011 in Tak Berkategori


  1. A.           PROFESI GURU

Suatu pekerjaan dikategorikan sebagai panggilan hidup apabila pekerjaan itu mengembangkan orang lain ke arah kesempurnaan dan kepenuhan. Pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain. Artinya dengan aktivitas pekerjaan, tersirat nilai pelayanan bagi orang lain,  dan ada unsur sosial dalam pekerjaan itu. Di sini jelas bahwa guru terlibat dalam suatu pekerjaan yang mempunyai nilai tinggi dan strategis. Dengan demikian, guru senantiasa dari waktu ke waktu berusaha untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, kepribadian, dan kecerdasan sosial dalam rangka mendukung tugas-tugasnya sebagai pengajar dan pendidik.

Jauh sebelum pengakuan terhadap pekerjaan guru sebagai profesi, karakteristik pekerjaan sebagai guru telah memenuhi unsur-unsur profesi. Guru adalah salah satu profesi yang dituntut memiliki pendidikan dan keahlian khusus yang berkaitan dengan bidangnya, dan  memberikan layanan pendidikan tanpa bermaksud mencari keuntungan pribadi, kecuali hak-haknya. Sudarminta mengatakan bahwa karena pelayanan profesional menuntut keahlian khusus dari si pemegang profesi, dan keahlian tersebut tidak ada pada klien serta masyarakat pada umumnya, maka dalam pelayanan profesional dapat tercipta suatu hubungan ketergantungan yang tidak seimbang. Yang dimaksudkan adalah si klien atau subyek layanan berada dalam kedudukan yang lemah atau mudah terlukai . Hal ini jelas bertentangan dengan sifat pelayanan profesional. Secara manusiawi terbuka kemungkinan bagi kaum profesional, termasuk guru untuk mengeksploitir ‘memeras’ klien atau subyek layanannya. Dengan kata lain, profesi mengandung  kemungkinan bahaya penyalahgunaan.

Berdasarkan gambaran pikiran ini dan melihat kenyataan bahwa profesi mengandung kemungkinan penyalahgunaan, maka menjadi jelas bahwa profesi tidak dapat dilepaskan dari etika. Setiap profesi, termasuk profesi guru, harus menunjukkan bahwa setiap tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sosial, dan moral. Mutu layanan kepada peserta didik menjadi yang terpenting di dalam pelaksanaan tugas-tugas sebagai guru.  Dalam kerangka pikir ini, Hari Guru Tahun 2010 patut menjadi ajang refleksi bagi guru mengenai standar etika yang menjadikan guru lebih profesional dan bermartabat.

  1. B.            Etika profesi guru

Pentingnya membicarakan etika profesi dewasa ini karena semakin berkembang dan pentingnya peran profesi dalam kehidupan masyarakat modern. Seperti pernah dinyatakan oleh sosiolog Talcott Parsons, “Perkembangan dan semakin pentingnya secara strategis profesi-profesi merupakan perubahan yang paling penting yang telah terjadi dalam sistem pekerjaan dalam masyarakat modern. Dalam masyarakat modern tidak mungkin lagi orang memenuhi semua kebutuhan hidupnya secara sendiri. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan, dan sebagainya semakin tergantung dari layanan pihak lain. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern terjadi diferensiasi fungsi-fungsi. Diferensiasi fungsi ini semakin lama semakin mengkhusus, sehingga hanya orang-orang dengan pendidikan dan keahlian tertentu dapat dan mempunyai kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut”. Sistem kerja profesional semakin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Dalam situasi semacam ini pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan kesejahteraan umum semakin tergantung dari layanan profesional. Supaya fungsi pelayanan demi kesejahteraan hidup masyarakat dari profesi-profesi yang ada tetap terjamin, maka diperlukanlah etika profesi.

Jika guru sebagai profesi juga mempunyai kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang profesional karena adanya situasi ketergantungan klien atau subyek layanan terhadap kaum profesional, maka sangat diperlukan kesadaran akan etika profesi. Penyalahgunaan wewenang profesional, selain merugikan kepentingan klien dan masyarakat umum, sebenarnya juga merugikan kepentingan profesi guru sendiri. Penyalahgunaan, yang saya sebut sebagai “penyimpangan” profesi dapat merusak citra profesi yang berimbas pada menurunnya kredibilitas profesi. Jika demikian, maka himpunan profesi, sebagaimana PGRI sebenarnya juga berkepentingan menetapkan dan memberlakukan standar etika bagi para anggotanya, dalam hal ini guru.

  1. C.           Dimensi etis profesi guru

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah melegalisasi guru sebagai jabatan profesi. Jika demikian substansi undang-undang tersebut, maka sudah tentu etika profesi juga berlaku bagi para guru. Manakah dimensi etis yang terkandung dalam profesi guru? Sebagaimana etika profesi pada umumnya, etika profesi bagi guru tentu berkaitan dengan standar integritas profesional yang berhubungan dengan nilai-nilai dan asas-asas moral yang perlu diperhatikan sebagai pedoman perilaku bagi para guru dalam menjalani profesinya. Etika dimaksud memuat butir-butir norma yang mengatur dan menjamin integritas profesional dalam hubungan antara guru dan peserta didik.

Untuk dapat menjamin integritas profesionalnya, seorang guru sebagai tenaga edukatif secara profesional terikat oleh beberapa kewajiban moral, antara lain: memegang asas kebenaran, keadilan, kejujuran, dan berpikir ilmiah. Dalam hal memegang asas kebenaran, misalnya,  seorang guru harus menjamin kebenaran informasi ilmu pengetahuan yang disampaikan kepada subjek didik. Untuk itu, guru perlu memperkaya khazanah pengetahuan, baik  fakta empirik maupun teoretis, termasuk kemampuan memadukan/menghubungkan fakta dan konsep sehingga subjek didik dapat memiliki pengetahuan komprehensif.

Kewajiban guru memegang asas keadilan berarti seorang guru perlu memperlakukan setiap siswa selaras dengan hak-haknya. Untuk itu, setiap guru perlu menjaga agar tetap memiliki apa yang oleh Talcott Parsons disebut sebagai ‘kenetralan afektif’ (affective neutrality). Kenetralan afektif mengacu pada sikap seimbang, lugas, dan apa adanya di dalam menilai dan membuat putusan mengenai siswanya. Seorang guru memiliki kenetralan afektif kalau pengamatan dan penilaiannya terhadap siswa tidak dikaburkan atau bahkan dibutakan oleh keterlibatan emosional-subyektif. Kenetralan afektif tidak identik dengan sikap dingin dan tanpa keterlibatan afektif, atau bahkan acuh tak acuh. Guru harus lebih berupaya untuk sungguh-sungguh bertindak obyektif  dengan tetap memandang perbedaan siswa sebagai individu yang  unik.

Asas keadilan perlu didukung oleh asas kejujuran. Seorang guru harus memiliki kerendahan hati dan terbuka untuk mengatakan bahwa dalam hal-hal tertentu ia memiliki keterbatasan.  Disadari atau tidak, keterbukaan itu dapat menumbuhkan gejala kepatuhan yang disebut sebagai kewibawaan. Hal ini terkait dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan subyek didik mampu belajar sesuatu mendahului gurunya, bahkan lebih menguasai sesuatu, baik yang berhubungan dengan pengetahuan teoretis maupun keterampilan-keterampilan praktis. Paradigma belajar telah berubah dari “guru yang serbatahu” menjadi “guru yang kaya strategi”. Belajar tidak lagi merujuk pada pengoveran pengetahuan oleh guru. Berdasarkan paradigma baru dimaksud, belajar merujuk pada penyediaan fasilitas oleh guru agar siswa dapat belajar mengembangkan kompetensinya. Implikasinya adalah konsep belajar-mengajar diubah menjadi konsep pembelajaran.

Keadilan dan kejujuran merupakan cermin kebijaksanaan. Sikap bijaksana ditandai oleh, antara lain, kesadaran guru akan keterbatasan-keterbatasannya, sebagaimana kata Sokrates, bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Guru harus berada pada kutub yang jelas; benar-benar tahu, atau sebaliknya tidak tahu dan secara jujur mengatakan tidak tahu. Betapa naifnya jika seorang guru berada pada area abu-abu, yakni “merasa tahu” (padahal tidak tahu), dan lebih naif lagi kalau guru berlagak tahu/sok tahu. Sehubungan dengan itu, diperlukan keterbukaan guru, termasuk tidak merahasiakan sumber-sumber belajar yang dimilikinya.

  1. D.           Sikap yang dituntut

Dimensi etis terkait dengan sikap-sikap profesional yang melekat pada seorang guru. Sikap-sikap profesional dimaksud, antara lain: memiliki rasa tanggung jawab dan mencintai pekerjaan.

Tanggung jawab meliputi tanggung jawab profesional dan tanggung jawab sosial. Jika setiap profesi mempunyai fungsi pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka tanggung jawab  profesional berorientasi pula pada tanggung jawab sosial. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kecerdasan sosial yang mencirikan integritasnya di tengah masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosial.

Sikap mencintai pekerjaan merupakan hulu dari sikap profesional lainnya. Jika demikian, maka sikap mencintai pekerjaan dapat disebut sebagai suatu keutamaan yang memandu setiap guru untuk menjalani profesinya secara sungguh-sungguh. Sebagai hulu dari keseluruhan sikap profesional, mencintai pekerjaan sangat dibutuhkan sebagai daya-dorong bagi terbentuknya semangat pengabdian dalam melaksanakan tugas-tugas profesional sebagai guru. Mencintai profesinya sebagai guru, berarti menemukan kebahagiaan hidupnya dari tugas mengajar dan mendidik. Jika demikian, maka bagi mereka yang “terpaksa” menjadi guru karena tidak ada pilihan pekerjaan lain, secara terpaksa pula menekuni pekerjaan sebagai guru hanya untuk mencari nafkah, dan bukan suatu cara hidup (a way of making money, and not a way of life).

Profesi yang mulia dan bermakna strategis bagi kemanusiaan dan kebangsaan menuntut wawasan kependidikan. Oleh karena itu wawasan kependidikan guru  menjadi titik sorot. Cara pikir, cara pandang, dan cara tindak guru hendaknya mengacu dan berorientasi pada penguatan profesi, yang pada gilirannya menjadikan guru sebagai sosok yang dipercaya, dihargai, dan diteladani.

Tinggalkan komentar